Jumat, 26 September 2008

SAATNYA KAUM MODERAT KELUAR PAGAR

 

Sam Harris, penulis The End of Faith, memperingatkan kita soal kaum moderat, dan saya setuju sekali dengannya. Kaum moderat hidup dalam keadaan limbung. Mereka tak di sini, tidak juga di sana. Mereka bingung menentukan mana yang benar dan yang tidak.

Lihat saja kaum moderat di negara kita. Mereka menjadi bagian dari kelompok pasif silent majority. Dalam siaran radio baru-baru ini, pengacara senior Adnan Buyung Nasution menyayangkan kecuekan mereka terhadap kesewenangan negara. Kita menghadapi soal krusial seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan, amandemen serampangan konstitusi kita,  penghancuran budaya dan  warisan leluhur kita - mereka tidak bersuara menyaksikan politik luar negri yang keluar jalur dan industri kita yang secara sistematis dijajah, pelan tapi pasti akan mati.

Menyikapi soal dumping kain batik dari China, Kabinet kita terbelah. Satu pihak melihat itu bukan ancaman karena China tak bisa mencuri motif kita; pihak lain memprihatinkan dampak dumping terhadap industri lokal.

Di antara dua kubu tersebut, ada kelompok besar yang tetap diam. Mereka tak peduli kalau para importir dan pengusaha kita yang menjadi pengkhianat dengan menghancurkan industri lokal. Mereka tidak ambil pusing kalau pajak kita, petugas bea cukai menjadi calo dan kehilangan rasa nasionalisme dari sisi ini.

Mari kita tak terperdaya oleh mentri kita yang sangat pintar mengatakan China tak bisa meniru motif kita. Masalahnya kita orang awam yang tak sepintar anda Tuan. Sebagian besar dari kami bahkan tak bisa membedakan antara motif Surakarta dan Yogyakarta. Kita juga tak tahu motif apa yang hanya pantas dipakai kaum bangsawan, dan mana yang untuk rakyat jelata seperti kami. Bagi kami, batik ya batik. Dan kami tidak tahu apakah kemeja atau blouse yang kami beli buatan lokal atau kain impor.

Tuan, mohon bergabung dengan teman-teman Anda yang menganggap batik China sebagai ancaman terhadap industri kecil di Pekalongan dan tempat lainnya. Lakukan dialog dari hati ke hati dengan mereka. Tuan, pernyataan anda terlalu naif, dan kami tak tahu ada alasan apa di baliknya.

Masalah krusial lainnya ialah konstitusi kita. UUD 1945 telah secara serampangan diamandemen - sehingga membatasi ideologi negara menjadi sekedar prase. Siapa peduli Pancasila? Setelah sekian lama, Presiden kita akhirnya menyadari ancaman disintegrsi bangsa yang disebabkan oleh amandemen semacam itu.

Beliau menunjuk komisi khusus untuk mengkaji hal tersebut. Tapi siap yang duduk di komisi itu? Siapa anggotanya? Apakah mereka berkomitmen penuh pada Pancasila, yang berakar dari budaya kita sendiri? Atau loyalitas mereka semu? Barangkali mereka sama sekali tak peduli pada warisan leluhur kita, dan lebih bersimpati dengan budaya asing.

Koran ini baru saja memuat dua artikel di halaman yang sama. Satu tentang rencana pengesahan RUU Pornografi yang didukung salah satu partai; satunya lagi tentang pemerintah Saudi yang menyetujui pemutusan saluran televisi karena menyiarkan tayangan yang “dianggap” immoral.

Berapa banyak dari kita sungguh tahu implikasi pengesahan RUU Pornografi? Berapa banyak dari kita peduli pada dampak-dampak tersebut? Mereka yang menolak RUU ini sering disalahpahami sebagai pendukung pornografi.

Tidak, kami tidak mendukung pornografi, tapi kami menolak RUU ini. Kita sudah memiliki peraturan, regulasi, hukum dan KUHP untuk mengurusi soal tersebut. Kita tak membutuhkan UU yang memuat difinisi dari segerombolan orang tentang apa yang dianggap pornografi.

Saya sudah berkali-kali membaca draft yang diajukan, dan  melihatnya sebagai ancaman besar terhadap budaya, peninggalan leluhur, dan tradisi masa silam kita. Kita tidak, saya mengulanginya dengan garis bawah dan huruf besar TIDAK menganggap sex sebagai dosa. Kita memiliki teknik bagaimana, pengetahuan, dan teknologi untuk mentransformasi energi seksual menjadi energi spiritual. Para sarjana kita kita di Sukuh dan Ceto menjadi saksi tradisi dan kebijaksanaan leluhur di masa silam.

Mereka yang menyusun rancangan undang-undang ini jelas tak menyadari kekayaan khasanah kearifan lokal kita. Presiden pertama kita, Bung Karno, membangun Monumen Nasional (MOnas) sebagai pembadanan kebijaksanaan tersebut. Ini simbol modern dari lingga dan loni, organ kelamin laki-laki dan perempuan, mewakili kemampuan mencipta kembali. Brosur yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Jakarta memaparkan visi bapa bangsa kita tersebut dengan jelas sekali.

RUU Pornografi, jika disahkan, dapat menganggap segala sesuatu porno. Tarian kita, seni kita, penari kita dan artis-artis kita - semuanya dapat terjerat pasal pornografi dan dikategorikan sebagai perbuatan mesum. Jika UU ini disahkan, negara kita akan tercerabut dari akar budaya dan identitas nasionalnya. Kita akan menjadi seperti negara Saudi Arabia, dan semua orang tahu partai politik mana yang akan menarik keuntungan dari perubahan budaya dan ideologis semacan ini.

Diplomat kita benar-benar bingung. Beberapa dari mereka bahkan mengatakan negara kita sebagai Negara Muslim yang sopan. Betulkan demikian? Kita memang memiliki penduduk Muslim terbesar, tapi kita jelas bukan Negara Islam.

Saya menyerukan kepada pemerintah saat ini agar belajar dari kesalahan masa lalu. SKB 3 Mentri soal kelompok Ahmadiyah tak menyelesaikan masalah sama sekali. Bahkan justru menambah masalah. Dengan menyalahtafsirkan keputusan tersebut, setidaknya seorang gubernur sudah mencekal kelompok ini dan itu menurut pendapat pengacara senior Adnan Buyung Nasution terdahulu melanggar konstitusi. Manuvernya tak sejalan dengan semangat undang-undang. UU Pornografi juga akan menambah masalah bagi kita.

Saya mendesak kaum moderat di antara kita yang disebut silent majorityuntuk bangkit dan berhenti menjadi penonton. Saya setuju di antara hitam dan putih, ada  daerah abu-abu. Tapi, sekarang bukan saatnya untuk berada di wilayah abu-abu

Ketika ada pencuri memasuki rumahmu, Anda tak akan bersikap moderat. Saat ibu atau saudara perempuan atau anak wanitamu diperkosa, Anda tak akan berceramah tentang anti-kekerasan. Tatkala keutuhan bangsa terancam, jelas diam Anda tak bisa dibenarkan.


Anand Krishna, Jakarta Post, Kamis, 09/25/2008, Opini

Tidak ada komentar: